Berbicara tentang
UU cipta kerja atau yang disebut juga UU omnibuslaw maka akan membawa kita pada
banyak hal yang menimbulkan kontroversi. Mulai dari substansi UU yang bagi
sebagian orang dianggap tidak berpihak pada tenaga kerja atau buruh hingga
proses pengesahannya yang terkesan terburu-buru sehingga memunculkan
kekhawatiran bagi berbagai pihak. Pada tulisan kali ini saya ingin membahas hubungan
antara UU cipta kerja ini dengan peraturan sertifikasi halal yang telah
disahkan melalui UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Sebelumnya
terkait peraturan sertifikasi Halal ini sendiri juga juga sudah menimbulkan pro
dan kontra, mengutip penjelasan dari pernyataan narasumber dalam webinar
sertifikasi halal di era adaptasi kebiasaan baru yang dilaksanakan oleh
Universitas Airlangga pada tanggal 28 September 2020 bahwa peraturan baru
terkait setifikasi halal ini memiliki signifikansi urgensi bagi terjaminnya
produk halal bagi masyarakat muslim di Indonesia selain juga merupakan sarana
penunjang bagi pemasaran produk halal Indonesia ke tingkat global. Mengingat pada
era masa kini industri halal semakin berkembang dan menjadi peluang yang sangat
besar bagi perkembangan perekonomian di Indonesia.
Pada satu sisi saya sangat setuju
dengan adanya urgensi tentang kewajiban sertifikasi halal bagi produk-produk
yang beredar di Indonesia karena hal ini merupakan ikhtiar bagi umat muslim
agar tidak terjebak dalah hal-hal yang gharar atau tidak jelas sehingga
terdapat keragua-raguan dalam mengkonsumsi suatu produk. Namun di sisi lain memang
ada hal-hal yang perlu dibahas lebih mendalam agar proses pelaksanaan aturan
sertifikasi halal ini dapat berjalan sesuai tujuan sesungguhnya. Mengutip dari
pernyataan pak Mardigu Wowiek alias bossman yang mana beliau berpendapat bahwa
adanya kewajiban sertifikasi halal ini cenderung mempersulit berkembangnya industri
kecil dan menengah atau UMKM, kemudian beliau menyarankan agar proses sertifikasi
maupun ijin-ijin tertentu yang berkaitan dengan pembukaan usaha maupun bisnis
harusnya bisa diatur sedemikian rupa sehingga tidak menyulitkan seperti proses
ijin sambil berjalannya usaha dan aturan sertifikasi hanya bagi usaha yang sudah
berskala besar.
Belum lagi selesai terkait pro dan
kontra sertifikasi halal yang kini bersifat mandatory muncul lagi polemik terkait
UU cipta kerja yang didalamnya juga membahas terkait aturan Jaminan Produk
Halal dan Sertifikasi Halal. Pada UU yang baru disahkan ini menyebutkan bahwa
peraturan yang mewajibkan LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) harus memiliki
sertifikasi dari MUI dihilangkan. Selain itu dengan alasan demi terciptanya
iklim investasi dan iklim usaha yang berkembang dan bertumbuh dengan cepat maka
aturan penerbitan sertifikasi halal diberi tenggang waktu maksimal satu hari
kerja terhitung sejak fatwa kehalalan produk. Kemudian pada pasal 35A ayat 2
dijelaskan apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan
maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikasi halal. Beberapa perubahan
inilah yang disorot oleh berbagai pihak. Substansi atau landasan tujuan
sertifikasi halal yang memiliki tujuan mulia untuk menjamin tersedianya jaminan
halal terkesan menjadi komoditi bisnis karena adanya potensi menghilangkan
peran MUI sebagai pihak yang memutuskan kehalalan suatu produk berdasarkan
aturan dan nilai-nilai islam.
Berbagai pendapat baik yang pro dan
kontra terkait aturan sertifikasi halal ini sebenarnya adalah baik karena
memang tugas kita bersama untuk berusaha mencapai aturan atau regulasi yang sesuai
dan lebih baik dan lebih baik lagi. Saya pribadi sebagai orang awam dengan pengetahuan
minim ini hanya ingin sedikit beropini melalui tulisan ini. Saya setuju dan
mendukung dengan adanya regulasi jaminan produk halal dan sertifikasi halal
yang bersifat mandatory ini karena merupakan ikhtiar dalam menghindari hal-hal
haram yang dilarang oleh islam. Namun hal yang perlu dikritisi adalah bagaimana
proses penerapan peraturan sertifikasi halal ini agar tidak memberatkan para
pengusaha kecil atau UMKM. Jangan sampai salah satu tujuan sertifikasi halal
yang awalnya adalah sebagai kunci untuk menembus pasar halal global malah
menjadi boomerang dan menhambat pertumbuhan usaha kecil di masyarakat. Hal-hal
yang berkaitan dengan biaya sertifikasi dan alur pengajuan sertifikasi harus
dibuat sedemikianrupa agar tidak meberatkan. Terkait beberapa perubahan yang
terdapat pada UU cipta kerja saya cenderung kurang setuju karena hal-hal
tersebut berpotensi menghilangkan substansi serta tujuan utama dari adanya
sertifikasi halal. Merupakan tugas bersama baik pemerintah sebagai regulator,
ulama sebagai penasehat, serta masyarakat yang memang terlibat langsung maupun
tidak langsung dalam hal ini untuk mencari solusi agar implementasi sertifikasi
halal ini dapat dilaksanakan dengan tujuan yang baik, cara yang baik, dan
akhirnya hasilnya pun baik bagi kemaslahatan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar